BAB I
PENDAHULUAN
Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak dalm hal makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya, bahkan sekalipun si istri adalah seorang yang kaya. Nafkah ini dalam bentuk ini hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, Assunah dan Ijma. Bila kedua pasangan itu telah sama-sama dewasa, maka merupakan kewjiban sang suami, bukannya si isteri seperti yang terjadi di beberapa Negara barat pada saat ini, untuk memberikan makanan, pakaian dan kediaman bagi si istri dan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kedudukan sosial pasangan tersebut dan selaras dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat tinggal mereka.
Allah SWT berfirman:
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
Artinya :
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan" [Ath Thalaq : 7].
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah
Nafkah yaitu memenuhi kebutuhan (apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami) untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya . Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
Nafkah dalam bentuk ini hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah dan ijma Ulama. Bila kedua pasang itu telah dewasa, maka merupakan kewajiban sang suami,
Allah SWT berfirman:
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
Artinya :
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan"[At-Thalaq:7].
Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga.
Melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga.
Bersabda Rasulullah SAW, yang artinya :
"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargam.”
B. Landasan Hukum Nafkah
1. Al-Qur’an
a. Firman Allah SWT:
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr
Artinya :
“....Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makrruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.....” (al-Baqarah: 2:233)
b. Firman Allah SWT
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
Artinya :
“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu beretempat tinggal menurut kemempuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) merka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkahnya sampai mereka bersalin.” (at-Thalaq:65:6)
2. Hadist
a. Bukhori dan Muslim meriwayatkan
عَنْ عاَ ئِشَـةَ أَنَّ هِنْـدَ بِنْتِ عُتْـبَةَ قاَلَتْ ياَ رَسُـوْ لَ اللهِ إِنَّ أَباَ سُـفْيَنَ رَجُـلٌ شَـحِيْحٌ وَ لَيْسَ يُعْـطِيْنيِ ماَ يَكْفِيْنيِ وَ وَلَدِي إِلاَّ ماَ أَخَـذْتُ مِنْـهُ وَ هُوَ لاَ يَـعْلَمُ فَقَـالَ خُـذِي ماَ يَكْفِيْـكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْـرُوْفِ (رواه بخار و مسلم)
"Aisyah meriwayatkan bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, wahai Rasulullah, seseungguhnya Abu Sufyan adalah ormh yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepada aku dan anakku sehingga aku mesti mengambilnya. Rasulullah bersabda, ambilah apa yang mencukupi untuk keperluan kamu dan anakmu dengan cara yang baik." (HR Bukhori dan Muslim)
b. Muawiyah dan Al-Qusyairi berkata:
عَنْ مُعـَاوِيَةَ اَلقُشَـيْرِيِّ _ رضي الله عنه _ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُـوْلَ اللهِ ماَ حَقَّ زَوْجَـةِ اَحَدِناَ عَلَيْـهِ قَالَ أَنْ تُطْعِـمُهاَ إِذاَ طَعِـمْتَ وَ تـَـكْسُـوْهاَ إِذاَ اكْتَسَـيْتَ اَوْ اِكْتَسَـبْتَ وَ لاَ تَضْرِبِ اْلوَجْهَ وَ لاَ تُقَـبِّحْ وَ لاَ تَهْجَـرْ إِلاًّ فِي اْلبَيْتِ
"Aku bertanya, wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami? Beliau bersabda, engkau memberinya makan apa yang engkau makan, engkau memeberinya pakaian sebgaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul mukanya. Jangnalah engkau menjelekannya dan jangnlah kamu meninggalkannya melainkan masih dalam satu rumah.”
C. Ketentuan Nafkah
Jika istri hidup serumah dengan suaminnya, suami wajib menanggung nafkahnya dan mengurus segala keperluannya, seperti makan, pakaian, dan sebagainya. Istri tidak berhak meminta nafkahnya dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan melaksanakan kewajibannya itu.
Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah secukupnya kepada istrinya atau tidak memberikan nafkah tanpa alasan-alasan yang dibenarkan syara’, istri berhak menuntut jumlah nafkah tetentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan temapat tinggal.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwasnnya jumlah nafkah diukur menurut kebutuhan istri dengan ukuran yang ma’ruf, yaitu ukuran yang standar bagi setiap orang disamping memperhatikan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri. Kerena itu, jumlah nafkah berbeda menurut zaman, tempat, dan keadaan individunya.
Golongan Hanafi berpendapat, bahwa Agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami wajib memberi nafkah kepada istrinya dengan cukup meliputi makanan, daging, sayur mayur, buah-buahan, minyak zaitun dan samin, serta segala kebutuhan yang diperlukan dalm hidup sehari-hari dan sesuai dengan kebiasaan umum standar ini berbeda menurut keadaan dan situasi setempat. Kalangan Hanafi menetapakan jumlah nafkah istri sesuai dengan kemampuan suami, baik kaya maupun miskin, tanpa melihat keadaan istrinya.
Sedangkan golongan Madzhab syafi’i tentang penetapan jumlah nafkah tidakdi ukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi di ukur hanya berdasarkan hukum syara’. Walaupun kalangan Syafi’i sependapat dengan kalangan hanafi, yaitu tentang memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, suami yang kaya tetap diwajibkan memberi nafkah setiap hari sebanyak 2 mud (12 ons) gandum atau beras. Adapaun suami yang miskin diwajibkan memberi nafkah pada satu hari sebanyak satu mud (6 ons) beras atau gandum. Adapun suami berekonomi sedang wajib memberi nafkah sebanyak 1,5 mud (9 ons) beras/ gandum setiap harinya.
D. Wanita Karir Menafkahi Suami
Dalam al-qur’an wanita karier adalah bekerja atau berusaha yang disebut dengan “amal”. Kedua kata ini ( iman dan amal yang di sebut berkali-kali hampir selalu di sebut oleh al-qur’an secara bersama-sama dan dalam satu nafas : “ al ladzina aamanu wa ‘amiluu al shalihat” ( orang-orang yang beriman dan bekerja dengan baik) dan kalimat lain yang semakna bekerja dengan begitu adalah eksistensi manusia hidup.
Dalam Islam yang ditekankan bukanlah memamerkan siapa yang berperan paling banyak, tetapi peran maksimal apa yang dapat kita berikan. Bahwa peran kita kemudian diakui atau tidak, tidaklah begitu penting. Itulah yang membuat banyak wanita modern sekarang memilih untuk menjadi seorang wanita karir.
Pada masa Rasulullah sendiri, ada banyak wanita yang juga dikenal sebagai wanita karir. Siti Khadijah, istri Nabi, adalah satu di antaranya. Ekonomi merupakan kebutuhan dasar manusia dan itu diakui secara universal . Quran secara eksplisit memerintahkan kita untuk rajin bekerja sepanjang hari dalam seminggu tanpa mengenal hari libur, tentu saja dengan tanpa melupakan ibadah harian yang diwajibkan seperti shalat (QS Al Jum’ah 62 :9).
Namun demikian, kita semua tahu bahwa ekonomi bukanlah satu-satunya tujuan kita hidup di dunia. Pada kenyataannya ekonomi hanyalah sarana untuk menopang sisi-sisi kehidupan yang lain.
Islam adalah agama yang telah lama berkenalan dengan wanita, memposisikan wanita sesuai fitrah diciptakannya, wanita pun turut memiliki kedudukan mulia sebagai khalifah layaknya kaum Adam. Peranan sentralnya sebagai pembentuk generasi shalih menjadi tumpuan utama bagi proses perjalanan kehidupan.
Lantas bagaimana karir wanita dalam perspektif Islam?, Islam menjunjung tinggi derajat wanita, menghormati kesuciannya serta menjaga martabatnya, maka, dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum syariat yang akan memberikan batasan dan perlindungan bagi kehidupan wanita, semuanya disediakan Islam sebab wanita memang istimewa, agar wanita tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan Allah terhadap dirinya, semuanya merupakan bukti bahwa Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim terhadap seluruh hamba-hambaNya.
Allah menciptakan kaum Adam dan Hawa sesuai fitrah dan karakter keduanya yang unik. Secara alami (sunatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan melakukan pekerjaan yang berat, menjadi pemimpin dalam segala urusan, khususnya keluarga, Negara dan lain-lain. Kaum Adam pun dibebani padanya tugas menafkahi keluarga secara layak. Sedangkan bentuk fitrah wanita yang tidak bisa di gantikan laki-laki adalah, mengandung, melahirkan, menyusui, serta menstruasi yang sering mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir. Wanita hamil ketika melahirkan membutuhkan waktu istirahat cukup banyak, kemudian menunggu hingga 40/60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan tekanan yang demikian banyak. Ditambah masa menyusui yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang di makan sang ibu, sehingga otomatis dapat mengurangi stamina si ibu. Haruskah “beban” berat alamiah tersebut diperparah dengan tugas di luar tanggungjawabnya?
Oleh karena itu, Dînul Islâm menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak membatasi haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek yang menyinggung garis-garis kehormatannya, kemuliaannya dan ketenangannya, yang dapat berakibat pada pelecehan dan pencampakan. Peran wanita muslimah selain mendidik anak-anaknya, diharapkan berbuat baik pada suami dan menaatinya setelah ketaatannya pada Allah Swt. Rasulullah SAW memuji wanita shalihah dengan haditsnya ketika beliau ditanya tentang siapakah sebaik-baiknya wanita? Rasulullah Saw bersabda; yang artinya: “Wanita yang menyenangkan jika dipandang, menurut jika diperintah, tidak mengingkari dirinya dan hartanya sesuatu yang dilarang” (H.R. An-Nasa’i).
Sejarah Islam telah mencatat keberhasilan beberapa perempuan (muslimah) karier yang telah menggabungkan kemaslahatan dunia dan akhirat,mereka bersanding sejajar dengan lelaki yang membangun peradaban islam,melangsungkan oerniagaan, menghasilkan barang-barang produksi,bercocok tanam, belajar, dan mengajarkan Ilmu, keluar berperang di jalan ALLAH SWT dengan mengobati korban-korban yang terluka, memberikan minum prajurit yang dahaga dan membela dengan gigih agama Islam dan kaum muslimin.
Sektor perniagaan, terdapat figure sayyidah khadijah perempuan karier pertama kali dalam sejarah islam Rasulullah SAW telah melakukan akad mudharabah (akad bagi keuntungan) bersamanya. Sayyidah khadijah juga melakukan ekspor-impor komoditi secara internasional. Kafilah niaganya membentang dari negeri yaman ke negeri syiria, dan terus bekerja di musim panas dan dingin beliau termasuk orang pertama yang menghilangkan sekat-sekat dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi perempuan untuk terjun di dunia bisnis.
Dari sini bisa kita ambil kesimpulan, bahwasanya islam tidklah melarang wanita berkarir, akan tetapi dengan catatan ia tidak boleh meniggalkan kewajibannya selaku seorang ibu dan ratu dalam rumah tangga, yang mempunyai tugas mengurus anak dan suaminya.
KESIMPULAN
Agama mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya. Dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, seorang istri menjadi terikat hanya kepada suaminya. Istri wajib taat kepada suami, menetap di rumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaliknya suami berkewajiban memenuhi kebutuhannya dan memeberi nafkah kepadanya selama ikatan suami istri masih berlangsung dan istri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain sehingga istri tidak berhak diberi nafkah.
Jika istri hidup serumah dengan suaminnya, maka suami wajib menanggung nafkahnya dan istri mengurus segala keperluannya, seperti makan, pakaian, dan sebagainya. Istri tidak berhak meminta nafkahnya dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan melaksanakan kewajibannya itu.
Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah secukupnya kepada istrinya atau tidak memberikan nafkah tanpa alasan-alasan yang dibenarkan syara’, istri berhak menuntut jumlah nafkah tetentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal.
Sedangkan mengenai istri yang berkarir dan berhasil, kemudian ia menafkahi suaminya, itu merupakan suatu hal yang sangat dibolehkan, bahkan hal tersebut telah di contohkan oleh sayyidati khadijah istri pertama Baginda Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Askara, 2008
2. Rahman Abdul, Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996